Sabtu, Desember 16, 2006

RSUD: hiruk pikuk mencari bentuk

Tulisan ini merupakan kelanjutan "Mengemas Rumah Sakit Berkualitas:1" pada posting minggu pertama Desember yang lalu. Kali ini bahan acuannya adalah sebuah rangkuman tim bulletin ARSADA format pdf berjudul "Lokakarya Kupas Tuntas Rumah Sakit Pemerintah Sebagai Badan Layanan Umum (BLU) " pada 21-22 Agustus 2004 di Flores Ballroom, Hotel Borobudur Jakarta.
Point-point penting sebagai kesimpulan hajatan di atas adalah sebagai berikut:

Menteri Kesehatan RI (saat itu), dr. Ahmad Sujudi
  • Terjadi shifting paradigma: RSD sebagai layanan public bergeser menjadi RSD sebagai layanan publik dan layanan pasar. RSD dikelola secara birokratik bergeser menjadi RSD harus dikelola entrepreneur.
  • Perlu perubahan mendasar sehingga BLU merupakan jalan keluar agar RS lebih mandiri dan mampu berkembang menjadi lembaga yang berorientasi terhadap kepuasan pelanggan.
  • BLU dapat memberikan peluang penyelesaian masalah pelayan publik/orang miskin.
Kepala Badan Akutansi Keuangan Negara, dr Mulya P Nasution, DESS
  • RSD berada dalam rumpun kegiatan pelayanan dan jasa dalam RPP BLU
  • RS pemerintah maupun RS Pusat tidak ada dikotomi dalam BLU.
  • Tidak secara otomatis seluruh RS Pemerintah menjadi BLU, ada syarat-syarat substantif, teknis dan admnistratif yang harus dipenuhi.
Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah, Ir Timbul Pudjianto,MPM
  • Jika RSD menjadi BLU, jangan lupa tujuannya adalah dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan terhadap masyarakat.
  • Kewajiban pelaporan dan pertanggungjawaban RSD dalam konteks keuangan.
  • Pengelolaan keuangan RSD tidak dipisahkan, RSD BLU pengelolaan mengikuti prinsip BLU.
  • BLU merupakan perangkat pemda untuk meningkatkan kinerja guna kepentingan public.
  • BLU merupakan transisi, karena RSD memiliki kompetitor dan harus dikelola secara professional.
  • Dalam pelaksanaannya harus hati hati, PP harus disesuaikan dengan pengelolaan SDM, dan lainnya.
Assisten Deputi Urusan Kesejahteraan dan SDM, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Nuraida
  • SDM di rumah sakit seharusnya tidak mengikuti aturan main PNS sehingga pola birokratis bisa dihindari.
  • Keuntungannya penempatan tenaga profesional tidak harus berdasarkan kepangkatan, penjenjangan dan sejenisnya
  • Sedangkan berdasarkan BLU, pegawai rumah sakit masih PNS / PNS dan tenaga non PNS
  • Intinya adalah SDM rumah sakit lebih difocuskan pada profesionalisme SDM yang berdasarkan kinerja sesuai dengan mutu standar.
Ascobat Gani dari Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan:
  • Tetap melaksanakan misi pemerintah dalam pelayanan kesehatan rumah sakit.
  • Memungkinkan RSUD menangkap potensi pasar.
  • Menjamin RSUD untuk mengikuti perkembangan IPTEK.
  • Mencegah brain drain dalam era perdagangan bebas.
  • Mencegah "two tiers" health services system (RSUD untuk masyarakat "kere" dan rumah sakit swasta untuk kalangan "elite")
  • Membuat RSUD dapat bersaing sebagai provider asuransi dan perusahaan swasta.
Di akhir lokakarya, dr Hanna Permana Subanegara, MARS selaku Ketua Umum Arsada menyampaikan point-point kesimpulan mengenai:
  1. Penarikan keppres yang baru.
  2. Tidak diberlakukan keppres No 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
  3. RSD bukan merupakan BLU tetapi menggunakan pola BLU dalam pembiayannya.
Menilik hiruk pikuk dan serunya para ahli mencari bentuk RS Pemerintah yang berkualitas dan mandiri, tentu banyak pihak berharap segera lahir produk sistem dan landasan hukumnya, yang secara nyata dapat meberikan manfaat khususnya bagi pengguna layanan di RS Pemerintah.
Kita tunggu ...
Catatan saya:
Sayangnya tidak tergambar keinginan pengguna jasa layanan pada pertemuan tersebut. Menurut saya keterwakilan mereka juga salah satu unsur penting dan tidak bisa diwakili seorang pakar yang nota bene tidak merasakan secara langsung bagaimana rasanya dirawat di RS Pemerintah. Tentu tidak harus mengundang atau mengikutkan dalam Lokakarya, namun cara lain dapat ditempuh, misalnya dengan sounding atau rekaman random sampling (candid) keseharian pelayanan RS Pemerintah.
Bila ingin fair, ngga ada salahnya mendatangkan 2 atau 3 orang keluarga penderita yang sedang dirawat di RS Pemerintah kelas 3 untuk kita dengar suara hati mereka.
Lalu... bagaimana pula menyesuaikan dengan UU tentang BLU yang direvisi pada 2005?
...

2 komentar:

Evy., DDS., OMFS mengatakan...

Cak Moki,
Saya duluuu WKS pernah kerja di wilayah kaltim, Gimana ya sekarang pasti sudah maju sekali. Oh ya Maturnuwun petunjuk ttg cara nge-link, masalahnya blog saya yg kuno, bukan beta jadi saya cari2 layout kok ndak ada ya... pasrah dulu semnetara...

Komentar saya ttg RS. Pemerintah, apa benar dok, sekarang harus swadaya? Bagaimana caranya kalau pasiennya kurang mampu semuanya, apakah bisa subsidi silang?

cakmoki mengatakan...

@ Evy (drg. SpBM)
Maaf mbak, telat mbales, koneksi putus-putus.
Sekarang udah ngga beta lagi, inipun uji coba koq ... saya lebih sering nulis di blogspot lama, isinya sama dengan yang ini.
Yg lama, enaknya bisa otak-atik kode html dan ganti theme di luar yg tersedia, yg baru pakai widget ... menurut saya sama aja, tergantung selera.

Dg adanya desentralisasi, rsud sebaiknya pakai swadana asal dikelola dg benar, sesuai Perda (peraturan daerah) yang berlaku. Rumusan perda kita bikin lalu disodorkan ke DPRD untuk persetujuan.
Bagi warga miskin ngga masalah, tetap dilayani sama dengan lainnya.
Contoh, bila seorang drg melakukan tindakan medis tertentu dan biaya ditetapkan perda misalnya untuk jasa drg 500 ribu, jasa rs 300 ribu, obat 100 ribu, total 900 ribu, maka drg tsb diberi uang jasa 500 ribu. Bila melayani warga miskin, drg tsb juga diberi 500 ribu sesuai perda, dananya bukan subsidi silang tapi diambilkan dari resource dana warga miskin dari pemerintah. (tidak boleh ada potongan)
Selama ini warga miskin dapat layanan seadanya karena sistemnya amburadul plus kenakalan pihak manajemen rs dan campur tangan pihak ketiga.
Dg swadana, semua jasa terbayar melalui billing system, sehingga semua pendapatan sah. Masalahnya, mau apa engga menggunakan billing system ... artinya semua komponen mengetahui hak-haknya secara transparan.
Saat saya masih bertugas di Puskesmas (http://puskesmaspalaran.wordpress.com), menggunakan swakelola open management. Obat, peralatan lab, cairan infus beli sendiri,sehingga tidak menggantungkan pemerintah dan biayanya menjadi lebih murah. Pendapatan paramedis (honor) lebih tinggi dari gaji pns golongan III. Tapi bila pimpinannya mulai nakal, sistem tsb bakal rusak.
Maaf jadi panjang, abis kalo diskusi mutu layanan saya jadi bersemangat hehehe.
Oya Kaltim tambah maju dari segi fisik, tapi makin kumuh, semrawut dan macet.
Menetap di sono nih?
Salam untuk keluarga ... :)