otokritik: SPM Bidang Kesehatan
Sudah 5 (lima) tahun lebih Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan diluncurkan, jika dihitung dari keluarnya PP No 25 tahun 2000 tentang kewenangan Propinsi Bidang Kesehatan, ataupun Kepmenkes dan Kesos RI No. 1747/SK/XII/2000 tentang Pedoman Penetapan SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota.
Perundangan di atas merupakan tindak lanjut dan konsekwensi logis diberlakukannya UU Otonomi Daerah tahun 1999 yang menekankan desentralisasi, termasuk bidang kesehatan. Kemudian disusul dengan Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA, tanggal 8 Juli 2002, tentang Konsep Dasar Pelaksanaan Kewenangan dan SPM.
Untuk bidang kesehatan sebenarnya tidak perlu terlalu bingung atau kaget dengan adanya perubahan diatas, mengingat titik sentralnya adalah pemindahan sebagian kewenangan sebagaimana amanat UU. Dus inti persoalan adalah pelimpahan kewenangan, diantaranya pengelolaan dana dan belanja atau neraca anggaran bidang kesehatan dari pusat ke daerah. Seharusnya kondisi ini sinyal positif bagi jajaran kesehatan di daerah, mengingat sebelumnya daerah nyaris selalu menggerutu tentang tidak diikutkannya menentukan kebijakan anggaran, boleh dikata daerah hanya sebatas menyampaikan usulan dan sendiko dawuh, walaupun jauh sebelum Otonomi Daerah sudah sering digaungkan "bottom up planning". Pro kontra tentang siap tidaknya daerah menerima delegasi kewenangan sempat marak. Terlepas berapa daerah yang siap dan berapa yang belum, menurut saya seyogyanya saat itu Depkes cepat tanggap dan totalitas dalam tatalaksana penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana amanat UU tersebut.
Kenyataan? ... masih jua top down planning ... dan Depkes ngga salah 100% karena kadang Dinkes dati II masih kental budaya "nunggu petunjuk" warisan pra-desentralisasi. Kontradiktif ... kontraproduktif
Bukti nyata nuansa top down planning adalah lahirnya (kembali) rumusan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan bertajuk "Pertemuan Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kepada Daerah" di Surakarta, 13-14 Oktober 2003.
Menilik kandungan butir-butir didalamnya, tak lebih dari sebuah reinkarnasi produk Depkes di era 1980-1990 an. Sebagai pengingat, kita sudah punya Pedoman Kerja Puskesmas dilengkapi dengan Juknis tiap UPK, lalu pernah menelorkan Mikroplanning, Minilokakkarya dan Stratifikasi, kemudian lahir Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), SP2TP nan buanyak dan mbingungi serta aneka ragam produk lainnya.
Maka lahirnya SPM, Penjamas, Puskesmas Reformasi dan sejenisnya hanyalah pengulangan dengan perbedaan label belaka.
Memang benar, perundangan secara tekstual menyebutkan kalimat SPM, namun hakekat, substansi maupun isinya tidaklah jauh beda dengan produk yang sudah ada. Oleh karenanya penekanan kepada Daerah tingkat II pun seyogyanya lebih diarahkan kepada substansi dan isi, bukannya konsideran dan istilah semata.
Hal ini sangat penting agar daerah tidak tergopoh-gopoh dan juga buang biaya hanya untuk pelatihan ataupun workshop yang isinya adalah adegan ulangan sekuen sebelumnya. Lebih baik waktu dan energi tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan secara berkala plus modernisasi menggunakan TI.
Korban dari lelakon di atas tak lain dan tak bukan adalah ujung tombak pelaksana teknis di tingkat lapangan alias Puskesmas. Tak jarang pada bulan-bulan tertentu, biasanya bulan September-Oktober (untuk sistem anggaran saat ini), seorang kepala Puskesmas disibukkan dengan hajatan Dinkes Dati II berjudul workshop, pertemuan teknis atau istilah lain yang keren-keren. Tak jarang pula petugas Puskesmas meninggalkan tugas berurutan dengan petugas lain menghadiri berjudul-judul pertemuan.
Apa isinya? Jujur saja, seperti reuni. Demi istilah baru.
Gerutuan para pelaksana teknis lapangan yang notabene adalah andalan kita, nyaris tak terdeteksi. Padahal mereka sering ngomel:" ganti lagi, ganti lagi ....yang lama baru bisa sudah ganti lagi ... blanko baru, cara ngisi baru ... ganti lagi".
Bila anggota keluarga kita sendiri sudah ngomel, bagaimana dengan Pemkab atau Pemkot sebagai penyedia dana? Jangan-jangan beliau-beliau juga menggerutu dimintai duit terus tapi disisi lain misalnya DBD tetap meningkat, pelayanan kesehatan apa adanya, pasien sering dimarahi dll ...dll.
Bocoran dari temen-temen Dinkes Dati II yang kebetulan saya tanya, jawabnya rata-rata adalah menghabiskan anggaran agar "tidak hangus".
Entah gurauan atau betulan, silahkan tanya sendiri ....di masing-masing Dati II.
Pun demikian dengan SPM, saya yakin tidak semua Dinkes Dati II memiliki definisi operasional SPM. Silahkan cek ke satu Puskesmas setiap Dati II sebagai sampel. Coba tanyakan sudah punya apa belum definisi operasional SPM yang sudah berupa buku, tanyakan pula kepada setiap pelaksana teknis tentang tatacara pengisian data dan parameternya .... Yang sudah punya dan jalan, ngga masalah, yang belum juga tidak sulit, adopsi aja lewat internet daripada repot studi banding.
Untuk pembuatan sistem, kita tidak pernah kekurangan pakar, demikian pula rumusan tatacara teknis penyelesaian masalah. Sebut saja peningkatan SDM, akselerasi informasi dan sebagainya.
Mungkin ada hal lain yang kita lupakan, yakni faktor non teknis sebagaimana "omelan" para pelaksana lapangan.
Seorang pensiunan paramedis pernah cerita kepada saya, bahwa selama beliau bertugas sejak tahun 1967, entah sudah berapa kali sistem dan laporan berubah-ubah. Beliau mengatakan:"Daripada stres, turuti aja. Minta 80% beri 85%, daripada repot-repot berdebat". Nah .....
Tidak semua mau jujur seperti beliau dan tidak semua bersikap seperti beliau, namun suara hati nan sayup-sayup tersebut patut kita jadikan sandaran pertimbangan kala memutuskan sesuatu.
Kembali ke topik SPM, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Indonesia sehat 2010 tinggal beberapa tahun lagi, dan SPM adalah salah satu alat ukurnya. Untuk itu tidak ada salahnya kita selalu berbenah menuju perbaikan sesuai garis-garis besar parameter sebagaimana termaktub dalam 26 parameter SPM.
Kepada Dinkes Dati I maupun Dati II yang telah berhasil mengejawantahkan SPM dalam bentuk definisi operasional, bahkan menayangkan di internet sebagai upaya penyebar luasan informasi, saya sangat bangga ... dan salut.
Semoga upaya tersebut dicatat sebagai amal ibadah.
Untuk yang belum punya silahkan download di dinkes Jatim, Jateng (mungkin masih ada yang lain), sedangkan preview spm yang saya buat dalam bentuk eBook flipping, ngga bisa upload karena filenya gede, mohon maaf ...
Selamat bekerja, sukses selalu...
:)
Perundangan di atas merupakan tindak lanjut dan konsekwensi logis diberlakukannya UU Otonomi Daerah tahun 1999 yang menekankan desentralisasi, termasuk bidang kesehatan. Kemudian disusul dengan Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA, tanggal 8 Juli 2002, tentang Konsep Dasar Pelaksanaan Kewenangan dan SPM.
Untuk bidang kesehatan sebenarnya tidak perlu terlalu bingung atau kaget dengan adanya perubahan diatas, mengingat titik sentralnya adalah pemindahan sebagian kewenangan sebagaimana amanat UU. Dus inti persoalan adalah pelimpahan kewenangan, diantaranya pengelolaan dana dan belanja atau neraca anggaran bidang kesehatan dari pusat ke daerah. Seharusnya kondisi ini sinyal positif bagi jajaran kesehatan di daerah, mengingat sebelumnya daerah nyaris selalu menggerutu tentang tidak diikutkannya menentukan kebijakan anggaran, boleh dikata daerah hanya sebatas menyampaikan usulan dan sendiko dawuh, walaupun jauh sebelum Otonomi Daerah sudah sering digaungkan "bottom up planning". Pro kontra tentang siap tidaknya daerah menerima delegasi kewenangan sempat marak. Terlepas berapa daerah yang siap dan berapa yang belum, menurut saya seyogyanya saat itu Depkes cepat tanggap dan totalitas dalam tatalaksana penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana amanat UU tersebut.
Kenyataan? ... masih jua top down planning ... dan Depkes ngga salah 100% karena kadang Dinkes dati II masih kental budaya "nunggu petunjuk" warisan pra-desentralisasi. Kontradiktif ... kontraproduktif
Bukti nyata nuansa top down planning adalah lahirnya (kembali) rumusan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan bertajuk "Pertemuan Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kepada Daerah" di Surakarta, 13-14 Oktober 2003.
Menilik kandungan butir-butir didalamnya, tak lebih dari sebuah reinkarnasi produk Depkes di era 1980-1990 an. Sebagai pengingat, kita sudah punya Pedoman Kerja Puskesmas dilengkapi dengan Juknis tiap UPK, lalu pernah menelorkan Mikroplanning, Minilokakkarya dan Stratifikasi, kemudian lahir Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), SP2TP nan buanyak dan mbingungi serta aneka ragam produk lainnya.
Maka lahirnya SPM, Penjamas, Puskesmas Reformasi dan sejenisnya hanyalah pengulangan dengan perbedaan label belaka.
Memang benar, perundangan secara tekstual menyebutkan kalimat SPM, namun hakekat, substansi maupun isinya tidaklah jauh beda dengan produk yang sudah ada. Oleh karenanya penekanan kepada Daerah tingkat II pun seyogyanya lebih diarahkan kepada substansi dan isi, bukannya konsideran dan istilah semata.
Hal ini sangat penting agar daerah tidak tergopoh-gopoh dan juga buang biaya hanya untuk pelatihan ataupun workshop yang isinya adalah adegan ulangan sekuen sebelumnya. Lebih baik waktu dan energi tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan secara berkala plus modernisasi menggunakan TI.
Korban dari lelakon di atas tak lain dan tak bukan adalah ujung tombak pelaksana teknis di tingkat lapangan alias Puskesmas. Tak jarang pada bulan-bulan tertentu, biasanya bulan September-Oktober (untuk sistem anggaran saat ini), seorang kepala Puskesmas disibukkan dengan hajatan Dinkes Dati II berjudul workshop, pertemuan teknis atau istilah lain yang keren-keren. Tak jarang pula petugas Puskesmas meninggalkan tugas berurutan dengan petugas lain menghadiri berjudul-judul pertemuan.
Apa isinya? Jujur saja, seperti reuni. Demi istilah baru.
Gerutuan para pelaksana teknis lapangan yang notabene adalah andalan kita, nyaris tak terdeteksi. Padahal mereka sering ngomel:" ganti lagi, ganti lagi ....yang lama baru bisa sudah ganti lagi ... blanko baru, cara ngisi baru ... ganti lagi".
Bila anggota keluarga kita sendiri sudah ngomel, bagaimana dengan Pemkab atau Pemkot sebagai penyedia dana? Jangan-jangan beliau-beliau juga menggerutu dimintai duit terus tapi disisi lain misalnya DBD tetap meningkat, pelayanan kesehatan apa adanya, pasien sering dimarahi dll ...dll.
Bocoran dari temen-temen Dinkes Dati II yang kebetulan saya tanya, jawabnya rata-rata adalah menghabiskan anggaran agar "tidak hangus".
Entah gurauan atau betulan, silahkan tanya sendiri ....di masing-masing Dati II.
Pun demikian dengan SPM, saya yakin tidak semua Dinkes Dati II memiliki definisi operasional SPM. Silahkan cek ke satu Puskesmas setiap Dati II sebagai sampel. Coba tanyakan sudah punya apa belum definisi operasional SPM yang sudah berupa buku, tanyakan pula kepada setiap pelaksana teknis tentang tatacara pengisian data dan parameternya .... Yang sudah punya dan jalan, ngga masalah, yang belum juga tidak sulit, adopsi aja lewat internet daripada repot studi banding.
Untuk pembuatan sistem, kita tidak pernah kekurangan pakar, demikian pula rumusan tatacara teknis penyelesaian masalah. Sebut saja peningkatan SDM, akselerasi informasi dan sebagainya.
Mungkin ada hal lain yang kita lupakan, yakni faktor non teknis sebagaimana "omelan" para pelaksana lapangan.
Seorang pensiunan paramedis pernah cerita kepada saya, bahwa selama beliau bertugas sejak tahun 1967, entah sudah berapa kali sistem dan laporan berubah-ubah. Beliau mengatakan:"Daripada stres, turuti aja. Minta 80% beri 85%, daripada repot-repot berdebat". Nah .....
Tidak semua mau jujur seperti beliau dan tidak semua bersikap seperti beliau, namun suara hati nan sayup-sayup tersebut patut kita jadikan sandaran pertimbangan kala memutuskan sesuatu.
Kembali ke topik SPM, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Indonesia sehat 2010 tinggal beberapa tahun lagi, dan SPM adalah salah satu alat ukurnya. Untuk itu tidak ada salahnya kita selalu berbenah menuju perbaikan sesuai garis-garis besar parameter sebagaimana termaktub dalam 26 parameter SPM.
Kepada Dinkes Dati I maupun Dati II yang telah berhasil mengejawantahkan SPM dalam bentuk definisi operasional, bahkan menayangkan di internet sebagai upaya penyebar luasan informasi, saya sangat bangga ... dan salut.
Semoga upaya tersebut dicatat sebagai amal ibadah.
Untuk yang belum punya silahkan download di dinkes Jatim, Jateng (mungkin masih ada yang lain), sedangkan preview spm yang saya buat dalam bentuk eBook flipping, ngga bisa upload karena filenya gede, mohon maaf ...
Selamat bekerja, sukses selalu...
:)
3 komentar:
Cak Moki
Kalau saya boleh tahu, dimana bisa mendapatkan isi SPM ini, dan apa program serta target minimal Indonesia sehat 2010.
Bagaimana menyehatkan masyarakat Indonesia ini kalau proyek tidak benar2 jalan, di puskesmas hanya sibuk bikin laporan fiktif? Apa sebenernya indikator penilaian keberhasilan suatu proyek, mohon info
Oh ya blog sy sudah pindah ke yg baru jd sekarang sudah bisa nge-link, maturnuwun
di Depkes:
www.depkes.go.id
cak... puskesmas kami sudah mulai mencoba bottom up planning baik kegiatan maupun anggarannya. Tapi yah akhirnya terjebak dengan SPJ yang njelimet dan akhirnya esensi program/kegiatannya jadi di nomor duakan. Ada komentar/usul?
Posting Komentar