Jumat, Desember 15, 2006

Desentralisasi Kesehatan di Daerah Tk II

Implementasi desentralisasi kesehatan Dati II masih ramai diperbincangkan, termasuk diadakan penelitian maupun kajian tentang seberapa jauh Dinkes Dati II menerapkannya, terutama kemampuan meyakinkan Kepala Daerah dalam hal program kesehatan di daerah masing-masing. Hasil kajian IMMPACT Indonesia berlabel "Kebijakan Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia: intensi dan realita" dan sajian Bapak Moh. Dwidjo Susono berjudul "Potret Implementasi Desentralisasi Kesehatan di Kabupaten/Kota", yang digelar di Makassar 7-9 Juni 2005, menunjukkan bahwa sebagian besar Dinkes Dati II belum mampu meyakinkan Kepala Daerah. Salah satu alat ukurnya adalah penyediaan dana untuk bidang kesehatan. Ironis, ... tapi nyata. Pertanyaannya: mengapa? Beberapa dugaan faktor penyebab diungkap sebagai kendala. Yang menggelitik adalah disebutnya temuan kunci bahwa dengan sistem saat ini memungkinkan munculnya "elit lokal" dengan resiko konflik interes, yang dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Wah, ini bisa memancing perdebatan baru. Sah saja diskripsi sebuah kajian membuat hipotesa semacam itu, namun harap diingat entry point kajian adalah "kemampuan meyakinkan" dari jajaran Dinkes Dati II. Kata-kata bijaknya, "anggap aja dinamika sebuah perjuangan". Artinya siapapun Kepala Daerah nya, tugas jajaran Dinkes Dati II adalah meyakinkan Kepala Daerah, bukan keluh kesah. Penguasaan masalah, kepiawaian komunikasi, presentasi menarik, jawaban cerdas atas sanggahan adalah kata kuncinya (tetapi nggombal tidak dianjurkan lho). Masih juga gagal? ... coba lagi ... coba lagi, bila perlu perkuat isu kesehatan melibatkan stakeholder, atau kalau memungkinkan membangun diri kita sendiri agar menjadi stakeholder, nggak usah takut hilang jabatan.... berani engga ya ...
Lebih menarik lagi ternyata dalam perkembangannya, desentralisasi kesehatan bahkan sudah jauh merambah ke tingkat pelaksana teknis, dalam hal ini sudah ada Pemda Tk II yang menyerahkan langsung pendanaan kepada Puskesmas melalui RASK dan DASK.
Contohnya Pemkot Samarinda. Sejak tahun 2003, Pemkot menyerahkan dana langsung ke Puskesmas secara merata, sebagai langkah awal. Berikutnya, tentu tidak sama. Besaran dana disesuaikan dengan keperluan riil tiap Puskesmas (itu bahasa halusnya, kenyataannya Puskesmas dengan wilayah kecil, tenaga sedikit tapi masih bilang kurang, dananya malah dikurangi sampai 50%, lho ....artinya jangan mbohongi orang yang pinter hitung-menghitung friends). Beberapa teman sejawat Kepala Puskesmas pernah bertanya kepada saya, mengapa koq dipotong? Sayapun menjawab ringan:" wong setahun itu cuman 365 hari, dipotong minggu dan hari besar, lha koq sampeyan bikin spj HOK (hari orang kerja) berlipat-lipat, tumpang tindih, emangnya tugas lapangan semalam suntuk? Dari segi pertanggung jawaban administrasi sih "amat mudah", semudah bikin puisi cinta, tapi dilihat sepintas akan nampak masuk akal apa enggak ...
Alhasil sampai sekarang, besaran dana tidak sama setiap Puskesmas dan seperti itulah seharusnya. Kejujuran memang mahal ....
Item Dana yang diserahkan adalah Gaji dan saudaranya gaji, belanja langsung, pemeliharaan, dll. Pendeknya Puskesmas mau belanja kertas hvs kelas 1, beberapa printer canggih, AC, kulkas merk terkenal, komputer pentium IV dan asesosinya, kursi empuk, gorden seperti temanten, bisa. Yang penting ada barangnya, realistic dan ngga bohong, niscaya tetap dipercaya. Bikin kegiatan apapun (bukan dengan niat menghabiskan dana) juga bisa. Yang penting jelas output dan outcome-nya.
Bila dulunya Puskesmas menggantungkan diri ke Dinkes Tk II, sehingga adakalanya sampai bocor karena menunggu usulan yang tak kunjung tiba, sudah tidak akan terjadi lagi. Kertas buram, gorden kain katun, sarung bantal bau, dijamin tidak terlihat lagi. Termasuk listrik, air, tilpon, BBM dijamin berlebih (asal digunakan dengan benar).
Mau pewangi ruangan dan pewangi lantai aroma apapun, bisa. Semua sudah ada standar harganya dan dijamin lebih ....
Pernah terjadi perdebatan (rebutan dana) antara Puskesmas dan Dinkes Tk II, tetapi argumen perdebatan tak berguna ketika Kepala Daerah memutuskan peluncuran dana tetap langsung ke Puskesmas.
Ke depan bukan tidak mungkin pengadaan obat juga dipercayakan ke Puskesmas bila dipandang lebih transparan, hemat dan berdaya guna. Hal ini pernah dilontarkan para anggota Dewan dalam dengan pendapat di DPRD setahun yang lalu, seiring ditemukannya obat kadaluwarsa di Puskesmas. Masalah sebenarnya sih bukan itu saja, tetapi terciumnya "permainan" diseputar pengadaan obat yang biasa berlindung di balik perundangan.

Kembali kepada diri kita masing-masing, mengingat sampai kini belum ada badan akuntabel yang mengendalikan keseluruhan sistem ...
Makna di balik tulisan ini adalah: menjaga kepercayaan yang diberikan kepada kita, berperilaku jujur, menghilangkan "budaya menghabiskan dana", berwawasan ke depan dan mengedepankan kepentingan khalayak untuk perbaikan kualitas pelayanan ...

Tidak ada komentar: