Pengobatan Gratis : start 15 Mei 2006

Keesokan harinya, berbagai komentar muncul di media, khususnya dari para kepala Puskesmas yang rata-rata menyatakan " nyaris tidak beda " dibanding hari biasa sebelum gratis.
Yang dimaksud gratis adalah merubah dari bayar retribusi menjadi tidak bayar, itu saja. Namun karena pelaksanaannya menggandeng jasa pihak ketiga, jadinya seperti tidak siap dari segi tatanan, seiring dengan kentalnya " kepentingan " di dalamnya.
Namanya mencari untung, sehalus apapun selubungnya, tentu menentukan batasan-batasan dengan argumen yang mudah dimasuk-masukkan akal, diantaranya mensyaratkan harus menunjukkan identitas sebelum kartu berobat dicetak, argumennya: menertibkan pemilikan KTP, mudah kan dan sepintas masuk akal. Bayangkan jauh-jauh datang berobat, maunya gratis bila tidak bisa menunjukkan identitas termasuk di luar ketentuan berobat gratis. Bayangkan pula siapa yang harus berhadapan dengan kondisi ini, apakah pihak ketiga atau para petinggi?
Bila sampeyan jadi dokter apakah tega menolak?
Silahkan jawab sendiri.
Namanya harus nampak masuk akal, jangan heran bila ada pihak-pihak yang bukan bidang kedokteran ikut melegitimasi berupa peryataan atau apapun bentuknya.
Siapa saja mereka dan apa kepentingannya?
Silahkan jawab sendiri.
Layanan kesehatan preventif dan khususnya kuratif bukan sekedar panggil pasien, periksa, beri obat dan pulang.
Ada nilai-nilai dan esensi yang tidak diketahui oleh banyak orang tetapi sudah terintegrasi dalam sebuah paket keseharian para petugas kesehatan, semisal empati, support, personal approach dan lainnya.
Siapapun menyambut baik niatan memberi layanan pengobatan dasar gratis kepada setiap warga, mengingat kesehatan adalah salah satu komponen penting dalam kehidupan.
Namun, ibarat orang sholat, prosesi mulai wudlu sampai niat sudah berjalan baik, lalu ketika takbiratul ihram sampai salam ada yang salah, maka tidak cukup di-maf'u dengan ungkapan " coba dulu " atau "diperbaiki sambil jalan". Sekiranya hal ini tidak boleh dianalogikan dengan sholat, mari kita ingat bahwa melaksanakan niat di atas bernilai 18 Milyar.
Artinya setiap tahun 18 Milyar habis dengan pertanggung jawaban "sudah sesuai aturan dan MoU".
Selain itu 18 M tersebut tidak akan meningkatkan infrastruktur layanan kesehatan sebagai salah satu pondasi kekuatan sistem layanan kesehatan komprehensif.
Langkah yang akan diambil untuk menutupinya kemungkinan dengan menambah anggaran di luar 18 M atau menyisihkan dari 18 M supaya masuk akal dan tidak dipersoalkan oleh para wakil rakyat.
Apabila mau berbesar hati mengakui kekhilafan (tapi ini sangat sulit), sebenarnya sangat mudah, batalkan kerja sama 18 M lalu kembali ke sirothol mustaqim.
Pemerintah Kota sebenarnya mampu mengelola sendiri program di atas, bahkan bisa menghemat lebih separo anggaran setiap tahunnya, itupun masih bisa membangun infra struktur secara bertahap dan berkesinambungan. Dan sisa anggaran yang dicadangkan masih bisa untuk keperluan lain yang bersifat layanan publik insidental semisal penanggulangan trend KLB bukan saja DBD teapi juga kondisi lain yang berpotensi KLB seperti Diare yang pada 2 bulan terakhir ini menunjukkan tanda-tanda peningkatan.
Apakah sebagian dari kita sudah memikirkan hal ini? Insya Allah ada.
Beberapa hari sebelumnya para petinggi Kota sudah wanti-wanti agar semua pihak mendukung program ini, percayalah sebagai petugas kesehatan kami tetap BEKERJA.
Untuk mendukung nanti dulu, karena kamilah yang lebih banyak tahu seluk beluk dunia kami, termasuk mana yang wajib, mana yang boleh, mana yang tidak boleh dan mana yang tercela.
Sekali lagi niat luhur tersebut kami dukung, akan tetapi mendukung tatalaksana yang tidak benar, apakah rela?
Siapapun tidak ingin menghempaskan dirinya kedalam noda.
Percayalah, memperbaiki langkah adalah perbuatan mulia sebelum publik mengendus "sesuatu" di balik niat mulia.
Yang dimaksud gratis adalah merubah dari bayar retribusi menjadi tidak bayar, itu saja. Namun karena pelaksanaannya menggandeng jasa pihak ketiga, jadinya seperti tidak siap dari segi tatanan, seiring dengan kentalnya " kepentingan " di dalamnya.
Sekedar mengingatkan, bahwa semua layanan kesehatan yang ditawarkan pihak ketiga lalu dibeli oleh Pemkot senilai 18 M sebenarnya merupakan pekerjaan rutin di Puskesmas.Namanya menjual, apapun bentuknya, pihak ketiga selaku penyelenggara (baca: mengelola uang, bukan penyelenggara pelayanan) tentu akan cari untung walau sewaktu menawarkan jasanya mengatakan tidak cari untung, biasa...seperti dawuh hadits:"sejelek-jeleknya tempat adalah pasar dan sebaik-baiknya tempat adalah tempat ibadah".
Namanya mencari untung, sehalus apapun selubungnya, tentu menentukan batasan-batasan dengan argumen yang mudah dimasuk-masukkan akal, diantaranya mensyaratkan harus menunjukkan identitas sebelum kartu berobat dicetak, argumennya: menertibkan pemilikan KTP, mudah kan dan sepintas masuk akal. Bayangkan jauh-jauh datang berobat, maunya gratis bila tidak bisa menunjukkan identitas termasuk di luar ketentuan berobat gratis. Bayangkan pula siapa yang harus berhadapan dengan kondisi ini, apakah pihak ketiga atau para petinggi?
Bila sampeyan jadi dokter apakah tega menolak?
Silahkan jawab sendiri.
Namanya harus nampak masuk akal, jangan heran bila ada pihak-pihak yang bukan bidang kedokteran ikut melegitimasi berupa peryataan atau apapun bentuknya.
Siapa saja mereka dan apa kepentingannya?
Silahkan jawab sendiri.
Layanan kesehatan preventif dan khususnya kuratif bukan sekedar panggil pasien, periksa, beri obat dan pulang.
Ada nilai-nilai dan esensi yang tidak diketahui oleh banyak orang tetapi sudah terintegrasi dalam sebuah paket keseharian para petugas kesehatan, semisal empati, support, personal approach dan lainnya.
Siapapun menyambut baik niatan memberi layanan pengobatan dasar gratis kepada setiap warga, mengingat kesehatan adalah salah satu komponen penting dalam kehidupan.
Namun, ibarat orang sholat, prosesi mulai wudlu sampai niat sudah berjalan baik, lalu ketika takbiratul ihram sampai salam ada yang salah, maka tidak cukup di-maf'u dengan ungkapan " coba dulu " atau "diperbaiki sambil jalan". Sekiranya hal ini tidak boleh dianalogikan dengan sholat, mari kita ingat bahwa melaksanakan niat di atas bernilai 18 Milyar.
Artinya setiap tahun 18 Milyar habis dengan pertanggung jawaban "sudah sesuai aturan dan MoU".
Selain itu 18 M tersebut tidak akan meningkatkan infrastruktur layanan kesehatan sebagai salah satu pondasi kekuatan sistem layanan kesehatan komprehensif.
Langkah yang akan diambil untuk menutupinya kemungkinan dengan menambah anggaran di luar 18 M atau menyisihkan dari 18 M supaya masuk akal dan tidak dipersoalkan oleh para wakil rakyat.
Apabila mau berbesar hati mengakui kekhilafan (tapi ini sangat sulit), sebenarnya sangat mudah, batalkan kerja sama 18 M lalu kembali ke sirothol mustaqim.
Pemerintah Kota sebenarnya mampu mengelola sendiri program di atas, bahkan bisa menghemat lebih separo anggaran setiap tahunnya, itupun masih bisa membangun infra struktur secara bertahap dan berkesinambungan. Dan sisa anggaran yang dicadangkan masih bisa untuk keperluan lain yang bersifat layanan publik insidental semisal penanggulangan trend KLB bukan saja DBD teapi juga kondisi lain yang berpotensi KLB seperti Diare yang pada 2 bulan terakhir ini menunjukkan tanda-tanda peningkatan.
Apakah sebagian dari kita sudah memikirkan hal ini? Insya Allah ada.
Beberapa hari sebelumnya para petinggi Kota sudah wanti-wanti agar semua pihak mendukung program ini, percayalah sebagai petugas kesehatan kami tetap BEKERJA.
Untuk mendukung nanti dulu, karena kamilah yang lebih banyak tahu seluk beluk dunia kami, termasuk mana yang wajib, mana yang boleh, mana yang tidak boleh dan mana yang tercela.
Sekali lagi niat luhur tersebut kami dukung, akan tetapi mendukung tatalaksana yang tidak benar, apakah rela?
Siapapun tidak ingin menghempaskan dirinya kedalam noda.
Percayalah, memperbaiki langkah adalah perbuatan mulia sebelum publik mengendus "sesuatu" di balik niat mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar