Sabtu, Mei 20, 2006

Mahalnya Keseriusan

Serius ?Di Kota kami sepertinya tidak serius menangani masalah kesehatan, karena suara pelaksana teknis "hanya sebagai masukan" dan bukan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam penyusunan rencana strategis jangka panjang.
Walau secara eselon, para kepala Puskesmas masuk dalam kategori eselon rendah, harap diingat bahwa mereka adalah sarjana yang sehari-hari menangani masalah kesehatan secara komprehensif.
Mustahil sebuah kebijakan akan benar-benar menyentuh esensi kesehatan bila kebijakan yang lahir hanya mengandalkan eselon semisal diwakili Dinas Kesehatan.
Pertanyaannya adalah beranikah Dinas Kesehatan berbicara berdasarkan kebenaran?
Ataukah hanya "sendiko dawuh" karena takut dicopot jabatannya, atau bisa jadi memang tidak pernah diberi ruang?
Ternyata, berdasarkan hasil penelitian IMPACT yang dipaparkan Juni 2004 di Makassar, disebutkan bahwa hanya sekitar 20 % Jajaran Dinas Kesehatan di Indonesia yang mampu meyakinkan Kepala Daerah tentang Renstra Kesehatan secara riil, sisanya tidak mampu, atau bahkan tidak berdaya. Ini berarti sebagian besar warga kita sejatinya tidak mendapatkan akses kesehatan secara benar.
Bisa jadi kebijakan kesehatan sudah dipengaruhi oleh para petualang baik internal maupun eksternal.
Lip service bidang kesehatan memang mudah dibuat agar menghanyutkan warga, lebih menyedihkan kala sebuah program lahir sebagai "reactive management".
Entah kapan kita menyadari hal ini.
Lebih parah lagi bila kebijakan pembiayaan kesehatan masuk kategori dicocok-cocokkan dengan "jatah", korban pertama lagi-lagi dan selalu mayarakat khususnya warga menengah kebawah dan wa bil khusus warga tidak berpunya.
Dalam hal penguatan politik juga bukan rahasia bahwa kesehatan dan pendidikan biasa dipakai sebagai isu utama, terutama ketika menjelang pemilihan (pemilu, pilkada dll).
Ketika masuk tahap pelaksanaan, sebagian besar berakhir dengan wassalam. Akhirul kalam ya begitu begitu juga.
Masalah kesehatan akan menghangat dan jadi perhatian bahkan bisa pula jadi prioritas ketika ada KLB.
Ketika itulah pelaksana teknis kesehatan seolah diperlukan atau tidak jarang diposisikan sebagai kambing hitam, bahkan adakalanya media pun tak segan ikut menghukumnya tanpa tahu akar permasalahan.
Itulah slide show masalah kesehatan dari tahun ke tahun.
Kini sudah makin sedikit para dokter yang mau berbicara benar, sebagian sudah apatis, adapula yang merasa percuma, toh akhirnya kebenaran hanya sebagai "bahan masukan".
Toh selama ini juga tidak didengar, toh selama ini juga berjalan seperti biasanya dan toh toh yang lainnya.
Saudaraku, kami mengakui masalah kesehatan masih begitu banyak kekurangan, namun bila penanganannya masih seperti di atas, rasanya kita tidak akan pernah menggapai perbaikan. Siklus ini berulang dan berulang hingga sulit berujung happy ending.

Kini saatnya mengakhiri kelemahan dengan mengedapankan kebesaran jiwa, menata ulang keperluan riil khalayak akan esensi kesehatan, reformulasi parameter sesuai kaidah kedokteran dan public health, inventarisasi berjenjang berdasarkan kewilayaan, menyusun prioritas secara sistematis, membuat "list item" semua program dan indent filter untuk jangka panjang.
Di samping itu jajaran kesehatan juga dituntut kreatif dalam memandang jauh kedepan membuat sebuah bingkai renstra berjenjang sesuai kondisi riil terkini. Mental menghabis-habiskan anggaran sepatutnya dibuang, diganti mental elegan, yakni memanfaatkan anggaran sesuai keperluan riil. Berebut mata anggaran juga harus dihilangkan.
Jangan ada lagi ungkapan: "seksi saya dapat berapa?"
Bila kondisi tersebut masih terjadi maka overlapping kegiatan tak dapat dihindari, ujungnya adalah PEMBOROSAN.
Berpuluh kali pelatihan, berulang kali workshop di hotel berbintang, ditambah lagi "studi banding-studi bandingan", nun sejauh ini hasilnya tak seimbang.
Karenanya, Renstra riil berjenjang mutlak dimulai sekarang dengan semangat kebersamaan.
Dengan demikian kita selalu punya acuan yang tersusun layaknya sort ascending dalam sebuah spreed yang baku tapi dinamis.
Maukah kita sedikit repot barang 3 sampai 6 bulan menyisihkan waktu untuk itu?
Well, jawaban ada di diri masing-masing.

Tidak ada komentar: