Selasa, Mei 30, 2006

Gratis via Askes

GratisNapak tilas kelemahan sistem yang (amat) mahal.

"Otoritas kesehatan di negara kita sudah sepatutnya mulai mengkaji secara serius pola asuransi kesehatan yang akan digunakan dalam rangka merespons Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Pengalaman asuransi kesehatan PNS patut dijadikan renungan bagi kita. Terjadinya manajemen biaya tinggi sudah ditunjukkan, antara lain, dengan pembangun gedung kantor PT Askes yang tergolong megah di daerah. Dilain pihak, bagi PNS yang berobat diterapkan sistem co-payment karena kenaikan premi tidak mendapatkan persetujuan pemerintah". Tulisan di atas adalah sebagian dari full text "Tabungan Kesehatan Nasional" oleh dr. H. Stefanus Lawuyan MPH, di Kompas online. Uniknya, otoritas di kota tercinta ini malah menerapkan hal serupa dengan kemasan "Pelayanan Kesehatan dasar Gratis" yang pengelolaannya diserahkan atau bahasa halusnya "kerja sama" dengan PT Askes. Dengan hanya melayani warga Kota di luar yang sudah tertanggung senilai 18 Milyar, program ini amat sangat mahal. Ada pula bonus "program manis" yakni santunan kelahiran sampai anak kedua dan kematian alamiah senilai 400 ribu rupiah untuk kelahiran normal dan 750 ribu rupiah untuk kelahiran dengan penyulit, serta santunan atau uang duka senilai "belum ditentukan". Bagi warga di luar dunia kedokteran mungkin memandang program ini amat mulia. Memang betul ditilik dari niat awalnya, siapapun mengakui program tersebut amat luhur di tengah berbagai kesulitan kita. Ibarat orang sholat, niatnya sudah benar. Namun begitu takbiratul ihram sampai salam, kesalahan lah yang dilakukan, karenanya wajib diulang (ianah) tersebab batal. Mengapa demikian?
Mari kita sedikit menguak dinamika dunia kedokteran. Sudah jadi rahasia umum bahwa layanan kesehatan masih banyak menuai keluhan, baik yang terucap maupun tak terucap. Semua kelemahan terhadap sistem layanan kesehatan tersebut sudah semestinya dilakukan pembenahan-pembenahan secara sistematis dan berkesinambungan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kelemahan sistem layanan kesehatan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: kurang meratanya kategori spesifikasi petugas kesehatan, belum adanya renstra jangka menengah dan jangka panjang di tingkat daerah, belum lengkapnya definisi operasional tiap item layanan, belum lengkapnya pedoman diagnosa dan terapi, belum adanya sistem record yang universal, belum teraturnya medical review sebagai media up date keilmuan di tingkat Puskesmas, dan masih masih ada beberapa hal teknis lainnya. Di samping itu yang tak kalah pentingnya adalah minimnya sarana prasarana penunjang medis dan diagnostik serta kurang meratanya pembangunan infrastruktur kesehatan tingkat dasar yang nota bene menjadi tumpuan akses layanan kesehatan sebagian besar warga kita. Kelemahan teknis dan penunjang termasuk infra struktur sebenarnya bisa ditanggulangi apabila benar-benar dirancang secara matang dan komprehensif. Sebagai contoh, kelengkapan juknis teknis medis bisa diakses dari berbagai daerah bahkan dari negara lain dengan mudah, lebih-lebih di kota ini mempunyai RS tipe B yang memiliki cukup para ahli untuk implementasi dari juknis teknis medis. Demikian pula sarana dan infrastruktur kesehatan tingkat dasar, dapat dirancang untuk 5 sampai 10 tahun kedepan berdasarkan demografi dan besaran akses layanan serta prakiraan pengembangan kependudukan dan ekonomi.
Akankah jadi renungan?

Tidak ada komentar: